Indonesia memiliki riwayat panjang terkait hubungan manusia dengan harimau, terutama di pulau-pulau yang dulu pernah menjadi tempat persebaran alami harimau. Pulau Bali dan Jawa dulunya merupakan wilayah sebaran asli kucing besar berloreng ini, sedangkan saat ini Sumatra adalah satu—satunya tempat manusia dan harimau hidup di dalam satu pulau.
Berada pada wilayah yang berdekatan, hal yang kemudian terjadi adalah adanya interaksi manusia dengan harimau. Namun, sejarah juga mencatat jika interaksi yang muncul diantara keduanya juga menimbulkan korban, baik manusia maupun harimau.
Sejarah kelam dari Bali dan Jawa
Abad 20 merupakan periode tercatatnya kepunahan harimau di dua pulau Nusantara, Bali dan Jawa. Dengan menjamurnya sektor perkebunan di Bali kala itu, masyarakat mulai membuka hutan untuk dijadikan lahan. Sebagian lahan bersinggungan dengan area jelajah harimau. Saat itu, harimau yang dianggap ‘bermasalah’ karena memasuki ladang, mendekati permukiman atau bahkan menyerang manusia, langsung diselesaikan dengan bidikan senapan laras panjang. Harimau yang lain pun juga mengalami nasib yang sama, ketika berburu harimau menjadi ajang pembuktian supremasi kolonialisme penjajah terhadap wilayah jajahannya. Imbasnya, periode tahun 1950-an menjadi tahun kematian harimau terakhir di Pulau Dewata.
Meskipun tinggal di area yang jauh lebih luas dari Pulau Bali, tetapi nasib harimau di Pulau Jawa ternyata setali tiga uang dengan kerabatnya di Bali. Di abad 18-19, sejarah mencatatkan jatuhnya korban manusia akibat serangan harimau, juga kematian harimau akibat dibunuh manusia (Boomgaard, 2001).
Di era tersebut, harimau ditangkap dan dijadikan tontonan rakyat dengan cara diadu melawan kerbau.Acara ini dinamakan Sima Maesa. Belakangan, harimau disimbolkan oleh masyarakat sebagai antagonis yang menjadi representasi kolonialisme. Sedangkan masyarakat Jawa menjadikan kerbau sebagai simbol mereka. Denga penyematan simbol ini, tentunya kerbau lebih dijagokan menang. Jika kerbau menang, maka pertunjukan selesai. Jika harimau menang, maka ia akan diarak untuk dibunuh beramai-ramai oleh masyarakat penontonnya. Tradisi pembantaian ini dinamakan Rampogan Macan. Dalam riwayatnya, bukan hanya harimau, bahkan macan tutul jawa ikut terseret dalam acara ini.
Dari acara-acara ini, permintaan untuk penangkapan harimau meningkat drastis dan populasi harimau di alam menurun tajam. Terlebih, pemerintah Kolonial Belanda yang saat itu menduduki Pulau Jawa juga memberikan hadiah bagi siapapun yang bisa menangkap harimau, seperti yang dilakukan VOC sejak abad-17(Amiluhur, 2021)
Penerapan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada periode tersebut bukan hanya mengakibatkan derita berkepanjangan masyarakat Jawa, namun juga keretakan hubungan manusia dengan harimau jawa. Masyarakat yang saat itu tengah dilanda kelaparan dipaksa untuk berkebun hingga ke batas hutan, membuka area hutan hingga akhirnya terjebak ke area kekuasaan harimau. Akibatnya, jatuhnya korban tak terhindarkan. Manusia diserang harimau, dan harimau yang dituduh pelaku akan terus diburu.
Pada akhirnya, kedua peristiwa tersebut memicu kepunahan harimau yang kedua kalinya di Indonesia. Di tahun 2003, harimau jawa dinyatakan punah, setelah absen dari catatan ilmiah di tahun 1980-an.
Kesempatan itu kini ada di Sumatra
Di Pulau Sumatra, harimau mendapatkan gelar istimewa dari masyarakat lokal dari berbagai wilayah di Sumatra. Dari ujung utara hingga wilayah selatan, berbagai nama disematkan ke satwa pemuncak ekosistem hutan ini. Mulai dari “Rimueng” (Aceh), “Datuk” (Melayu), “Datuak/Inyiak” (Minang) yang merupakan panggilan kehormatan dari tiap wilayah, hingga gelar tetua atau leluhur seperti “Nini” yang berarti “Nenek” (Karo) dan “Opung/Ompung” yang artinya “Kakek” (Batak). Selain itu, masyarakat sekitar hutan di jaman dahulu juga mengembangkan berbagai upaya agar mampu hidup berdampingan dengan alam, termasuk harimau. Hal-hal ini diwujudkan dalam berbagai peraturan dan pantangan, agar manusia terhindar dari berbagai resiko ketika berada di hutan.
Nilai-nilai yang merupakan upaya manusia untuk hidup berdampingan dengan harimau masih terasa hingga saat ini, walaupun interaksi keduanya yang menimbulkan dampak negatif juga terjadi. Bagi keduanya, kehilangan sumber daya, aset, bahkan kematian akibat interaksi negatif menjadi resiko baik bagi manusia maupun harimau. Naasnya, ada pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan situasi ketika interaksi negatif sedang terjadi. Ketika harimau disalahkan atas hilangnya ternak aset warga, atau kejadian yang mengakibatkan jatuhnya korban luka atau bahkan jiwa, selalu ada individu yang berusaha memprovokasi untuk memburu harimau tersebut. Harimau yang ditarget tersebut, kemudian diambil untuk meraup keuntungan sendiri.
Interaksi negatif yang jika dibiarkan akan memicu kepunahan ini menjadi hal yang sekarang dicegah dan dihindari. Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya melindungi eksistensi harimau terakhir yang dimiliki Indonesia ini melalui berbagai upaya seperti perlindungan kawasan, pelarangan perburuan, hingga mitigasi dampak interaksi manusia dengan harimau.
Dalam prinsip mitigasi dampak interaksi manusia dengan harimau, baik manusia dan harimau sama-sama penting. Keduanya perlu dan harus dijauhkan dari berbagai resiko. Sedangkan dalam implementasinya pemecahan masalahnya tidak hanya satu aspek. Ia mengikuti kompleksitas interaksinya mulai dari sebab hingga tingkatan kejadiannya. Dalam upaya beradaptasi dengan berbagai tingkatan kejadian, KLHK juga mengeluarkan pedoman penanggulangan konflik manusia dengan harimau dengan berbagai teknik untuk diterapkan di tingkat tapak.
Dalam proses mendorong koeksistensi manusia dengan harimau, KLHK menuliskan berbagai upaya untuk menghindari resiko bagi manusia beserta asetnya. Mulai dari pencegahan dampak melalui pengamanan diri dan manajemen ternak yang bebas resiko, hingga teknik penanggulangan saat dan setelah terjadinya interaksi. Tentunya teknik dan pendekatan yang ada merupakan hasil dari proses pembelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Untuk menghindari korban di kedua pihak, hal-hal ini yang perlu disebarluaskan, dipahami dan diterapkan hingga ke wilayah pemukiman sekitar hutan. Dan untuk mewujudkan hal ini, diperlukan upaya dari berbagai pihak.
Manusia merupakan makhluk yang mampu bertahan karena kemampuannya beradaptasi, dan proses adaptasi juga diperlukan untuk mempertahankan alam yang ada di sekitar mereka. Dengan adaptasi untuk mitigasi dampak, dipadukan dengan kearifan lokal untuk membangun persepsi positif terhadap harimau, maka keharmonisan manusia dengan harimau seperti yang diajarkan leluhur akan terwujud.
Penulis : Afrizal Alfarisi, 2021